Taufik Wijaya - detikRamadan
Palembang - Sore puasa hari kedua itu hujan terus membasahi kota Palembang, tapi warga tidak mengurungkan niatnya melakukan salat magrib, buka puasa bersama, salat isya, dan salat tarawih di masjid Agung atau Masjid Sultan Palembang.
Ratusan warga berkumpul di masjid terbesar di Sumatra Selatan itu. Selama menunggu buka puasa, warga melakukan membaca ayat suci Alquran, berdoa, tanpa mengenal status sosial. Dari pejabat negara, ulama, pelajar, pedagang, penarik becak, hingga para gelandangan yang entah puasa atau tidak, mereka menunggu buka puasa yang menu utamanya bubur ayam, kurma, dan makanan kecil lainnya.
Makanan ini merupakan sumbangan dari warga Palembang, baik berupa makanan maupun uang buat dijadikan makanan. “Ini tradisi selama ratusan tahun, sejak masjid ini berdiri,” kata Kemas Muhammad Taufik kepada detikcom, Selasa (02/09/2008) sore.
Diceritakannya Masjid Agung Palembang dibangun selama sepuluh tahun. Tepatnya dimulai pada hari Senin, 1 Jumadil Akhir 1151 H (1748 M), dan selesai pada hari Senin, 28 Jumadil Awal 1161 (1748 M). Masjid Agung dibangun oleh Sultan Susuhunan Abdurrahman, yang mendirikan Kesultanan Palembang Darussalam—setelah kerajaan Islam Palembang.
Selama masa penjajahan Belanda, Masjid Agung fungsinya bukan hanya sebagai tempat beribadah, tapi juga tempat belajar dan berdiskusi mengenai akhirat dan persoalan duniawi. Tak heran, banyak keputusan rakyat Palembang melawan kolonial Belanda diputuskan dari masjid ini.
Oleh sebab itu, kolonial Belanda pernah menembakan peluru meriam ke Masjid Agung. Setelah 6 kali tembakan, menara masjid ini hancur. Namun tak lama kemudian dibangun kembali oleh masyarakat Palembang. Tokoh-tokoh intelektual Islam nusantara pada masa abad ke-18 yang lahir dari masjid ini antara lain Abdussomad Al-Valimbani. Ajarannya meluas hingga ke Thailand selatan, Kalimantan, dan Maluku Utara.
Luas bangunan masjid Agung mencapai 1.080 meter persegi atau 30x36 m. Awalnya masjid ini mampu menampung 1.800 jamaah, setelah dilakukan perluasan, masjid mampu menampung 2.300 jamaah. Karena jamaah bertambah, masjid terus diperluas hingga menampung 9000 jemaah. Tapi setiap salat Idul Fitri, masjid ini selalu tidak mampu menampung jamaah, sehingga halaman, badan jalan Jenderal Sudirman, Jalan Merdeka, maupun badan Jembatan Ampera sering digunakan buat salat. Diperkirakan rata-rata warga yang salat di masjid dalam setiap merayakan Idul Fitri mencapai 15.000 orang.
Arsitektur Masjid Agung merupakan perpaduan budaya Barat dan Timur. Uniknya, masjid ini lebih dekat dengan masyarakat dibandingkan dengan istana Kesultanan Palembang Darussalam.
Bangunan utama segi empat, atapnya berlapis tiga, yang teratas berbentuk piramidal dengan hiasan mirip kelopak bunga teratai pada bagian puncaknya. Konstruksi ini sebenarnya tidak berbeda dengan model joglo Jawa, tapi kelopok bunga menunjukkan pengaruh Cina, atau dipertegas bagian ujung-bawah dari atap tengah, mencuat keluar mengarah ke atas, mirip dengan arsitektur pagoda, klenteng dan bangunan tradisonal Cina lainnya.
Menariknya, Masjid Agung memiliki serambi seperti arsitektur klasik Yunani-Dorik. Pada bidang segi tiga pada ujung depan atap dua sisi miring, disangga tiang depan yang penuh dengan hiasan kaligrafi Arab. Tiang-tiang itu berbentuk silindris beralur vertikal, berderet lima buah di depan dekat tangga. Di sekeliling masjid terdapat tiang bercorak Dorik.Masjid ini berbentuk simetris, pada bagian kiri dan kanannya, terdapat lagi semacam gerbang lateral dengan arsitektur Yunani.
Masjid Agung ini membuktikan bahwa para Sultan Susuhunan Abdurrahman, merupakan pemimpin yang cerdas dan memiliki pengetahuan yang luas mengenai arsitektur dunia. Seperti halnya Benteng Kuto Besak—istana Sultan—yang memiliki kesamaan dengan banteng di Prancis pada abad pertengahan.(tw/tbs)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar