Ditulis oleh infokito™
Usai melaksanakan Salat Idul Fitri dan menyimak khutbah di masjid-masjid atau tanah lapang, jamaah Salat Ied tanpa dikomandoi langsung saling menjulurkan tangan mengucapkan selamat merayakan hari kemenangan dan saling maafmemaafkan. Merayakan Lebaran, bagi umat muslim memang memiliki arti tersendiri dalam perjalanan hidupnya setiap tahun.
Banyak keunikan dalam cara-cara merayakan lebaran, sehingga sering memunculkan berbagai tradisi dan budaya tersendiri yang semakin memeriahkan momen keagamaan itu. Salah satunya adalah mengunjungi keluarga, kerabat, dan teman untuk bersilaturahim dan saling bermaaf-maafan. Di Palembang dan beberapa daerah di wilayah Sumsel, tradisi itu di sebut sanjo.
Kelahiran tradisi dan budaya ini tidak lepas dari unsur pemahaman manusia terhadap ajaran agamanya. Namanya saja tradisi, apa yang terjadi dari tahun ke tahun tampaknya selalu saja menarik untuk diangkat kembali ke permukaan. Sebagaimana biasa, pada lebaran tahun ini para pemimpin tertinggi di pemerintahan baik pusat maupun daerah mempersilahkan warganya untuk datang bersilaturahim dengan menggelar open house.
Namun umumnya sanjo dilaksanakan masing-masing warga perseorangan.
Di kawasan Cempaka Dalam Kelurahan 26 Ilir misalnya, usai menunaikan shalat, beberapa kepala keluarga dalam lingkungan satu kampung berkumpul di masjid Al-Ikmal. Mereka kemudian bersama-sama mendatangi tempat tinggal tetangga di sekitar tempat tinggal mereka satu persatu untuk bersilaturahmi dan bermaaf-maafan. Kemudian rombongan melanjutkan kunjungan ke rumah tetangganya yang lain.
Setiap kepala rumah tangga yang kediamannya baru saja disanjoi, biasanya turut serta dalam rombongan tersebut untuk ikut sanjo ke rumah tetangga yang lain. Silaturahmi berakhir setelah rumah tetangga di sekitar lingkungan tempat tinggal sudah mereka kunjungi. “Rumpak-rumpakan”, begitu aktivitas sanjo beramai-ramai ini dinamai.
Suasana lebaran Idul Fitri begitu terasa di kampung-kampung yang ada di Palembang, Sabtu (13/10). Salah satunya yang ada di Kampung Kapitan. Meskipun komunitas di sini merupakan orang-orang thionghoa, tetapi banyak juga yang muslim melayu. Selain itu ada juga muslim thionghoanya.
Salah satunya H Iskandar atau yang biasa dipanggil Seling (50). Pengusaha pempek ini pun mengadakan open house untuk warga manapun yang tinggal di Kampung Kapitan serta teman-temannya. “Kita tidak membeda-bedakan. Siapapun yang datang ke sini kita terima, rumah kita terbuka untuk siapapun. Sekaligus mencicipi makanan yang kami buat,” kata H Iskandar ditemani istri serta anak gadisnya Minggu (14/10). Menurutnya komunitas muslim di Kampung Kapitan hanya beberapa orang saja. Kebanyakan saat ini tempat tinggal mereka sudah menyebar.
Sementara itu kata Ko Abok, Koordinator PITI mengatakan bahwa saat ini komunitas muslim thionghoa sudah menyatu dengan masyarakat pribumi. “Kita seperti masyarakat pribumi lainnya, ya seperti biasanyalah, pas idul fitri sudah sembahyang kita saling sanjo,” kata Abok. Menurutnya mengenai tradisi tidak seperti orang asli Palembang, tetapi mengenai makanan sama saja. Misalnya pempek, tekwan, kue basah seperti maksuba dan delapan jam selalu ada.
Sementara itu tradisi rumpak-rumpakan di Kampung Palembang masih terus ada. Lebih kurang sebanyak 60 orang berkeliling dari satu rumah warga ke rumah lainnya dengan membawa terbangan.
“Rumpak-rumpakan ini merupakan tradisi setiap hari raya idul fitri. Saat masuk para tamu menabuhkan terbangan, selanjutnya membacakan salawat nabi dan ditutup doa bersama. Kemudian menghabiskan makanan khas Palembang seperti tekwan dan pempek,” kata Rusli Hasani, lrg Setia RT 33 RW 04 Jl KH Azhari 13 Ulu.
Rumpak-rumpakan digelar dengan membawa terbangan dan rebana. Mereka melantunkan Shalawat Nabi pada setiap rumah yang di sanjoi. Tradisi semacam itu, yang hingga saat ini masih dipertahankan, juga dilakukan di beberapa kampung lainnya di Palembang, begitu pula di beberapa daerah di luar Palembang, seperti di Kabupaten Lahat. Warga di daerah sentra penghasil kopi robusta ini menyebutnya tradisi “pantauan”.
Pantauan dilakukan masyarakat saat hari pertama Lebaran dengan mengunjungi rumah tetangga yang berada di sekitar tempat tinggal, tradisi ini mirip dengan rumpak-rumpakan yang dilakukan masyarakat asli Palembang ketika lebaran. Usai melaksanakan sholat Idul Fitri, setiap kepala keluarga dalam lingkungan satu kampung, berkumpul di mesjid setempat atau di rumah kepala kampung sesuai dengan kesepakatan. Kemudian mereka secara bersama-sama mendatangi tetangga
di sekitar tempat tinggal mereka satu per satu.
Jika ada tetangga mereka yang mempunyai niat agar arwah para leluhur mereka untuk didoakan ataupun ada yang baru mempunyai anak, pada saat pantauan ini keluarga yang dikunjungi akan meminta didoakan para tetangga mereka dengan harapan diberikan perlindungan, kesehatan, dan keselamatan oleh sang pencipta.
Usai berdoa bersama, para tetangga yang datang itu, diminta oleh tuan rumah yang dikunjungi untuk menyantap hidangan yang mereka sediakan. Setelah itu rombangan melanjutkan kunjungan ke rumah tetangganya yang lain lagi, sedangkan kepala rumah yang rumahnya di kunjungi tadi juga ikut serta dalam rombongan tersebut. Jika tidak, mereka akan merasa dikucilkan dalam pergaulan bertetangga di tempat tinggalnya. [Aang/Yusnitasari/sripo/infokito]
1 komentar:
Assalamualikum warahmatullahi wabarakatuh
Salam kenal dari saya, semoga blog saya yang pertama yang berbayar ini bisa menambah khasanah pemikiran dan wawasan ke-Islam-an kita semua terutama tentang salawat nabi yang sekarang sedang jadi bahasan dalam blog saya
Dan selamat hari raya Idul Adha 1429 H
Semoga Allah Memberkahi kita semua
Dan ( lagi ) ditunggu kunjungannya
Amin
Posting Komentar