Tak urung, kritik dan pujian silih berganti mengemuka seiring dengan gencarnya lembaga tersebut menyeret para pejabat penting di negeri ini. Mulai dari bupati, wali kota, gubernur, anggota DPR, mantan duta besar (dubes), mantan menteri, rekanan pemerintah daerah dan berbagai departemen hingga pejabat negara di lingkungan departemen maupun nondepartemen, bahkan besan orang nomor satu di Republik ini pun tak luput dijadikan sasaran pemberantasan korupsi oleh KPK. Boleh dikatakan, tahun 2008, koruptor makin terjepit akibat sepak terjang KPK dalam memberantas korupsi. Banyak kalangan menilai kinerja lembaga super body dalam pemberantasan korupsi itu perlu dipertahankan, bahkan ditingkatkan untuk tahun-tahun yang akan datang.
Namun demikian, tidak sedikit cibiran atas kinerja KPK dengan sejumlah penilaian. Ada yang menuding KPK hanya terfokus pada kasus-kasus korupsi berskala kecil, kasus korupsi yang mudah pembuktiannya dan tidak sedikit yang mengkritik soal tidak bernyalinya lembaga itu untuk menyentuh kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang telah terbukti gagal tatkala ditangani oleh Kejaksaan Agung.
Padahal, penanganan kasus BLBI merupakan entry point bagi KPK untuk menunjukkan jati dirinya sebagai lembaga pemberantas korupsi yang independen. Apalagi, kasus yang merugikan keuangan negara bernilai ratusan triliun rupiah itu banyak melibatkan pejabat negara dan pengusaha yang kini justru lebih banyak ngendon di negara lain.
Anggota Komisi III DPR, Lukman Hakim Syaifuddin, menyatakan, menonjolnya pemberantasan korupsi oleh KPK merupakan sebuah peringatan bagi para pejabat di Indonesia agar tidak lagi "bermain-main" dan menyalahgunakan jabatannya untuk memperkaya dirinya sendiri.
"Jangankan pejabat biasa, yang dekat dengan lingkungan Istana pun, kini bukan lagi menjadi halangan bagi KPK untuk mengusutnya jika terbukti melakukan korupsi," ujar politisi dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu.
Peneliti hukum pada Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesian Corruption Watch (ICW), Febri Diansyah, juga sepakat jika dikatakan kinerja KPK selama tahun ini cukup menonjol, terutama jika dilihat dari jumlah penanganan kasus korupsi.
Keberanian KPK menetapkan Aulia Pohan sebagai tersangka kasus aliran dana BI diapresiasi Febri sebagai gebrakan yang luar biasa. Tindakan KPK itu menunjukkan bahwa lembaga tersebut menunjukkan jatidirinya sebagai lembaga independen yang sulit diintervensi kekuasaan.
Namun, dalam pandangan Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Muchtar, jika metode yang diambil bukanlah compare antara Kejaksaan Agung dengan KPK, namun antara kejaksaan dengan harapan masyarakat, atau KPK dengan harapan masyakarkat, kinerja kedua institusi itu masih jauh dari harapan. Ibaratnya seperti lari di tempat, seakan lari-lari berkeringat-basah, capai, tapi tidak bergerak. Korupsi tetap menggejala, menggeliat, dan jumlahnya tetap tinggi.
"KPK lebih unggul dari kejaksaan karena model penegakannya lebih kuat. Paling tidak kalau kita bicara tentang rata-rata kemampuan KPK menentukan penuntutan perkara korupsi. KPK rata-rata mampu menuntut kasus korupsi dengan tuntutan 4-5 tahun ke atas, sedangkan kejaksaan hanya rata-rata menuntut 1-2 tahun. Sangat rendah," katanya menerangkan.
Terlepas dari semua keberhasilan itu, staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Andalas, Saldi Isra, menggarisbawahi bahwa keberhasilan KPK tidak bisa diakui sebagai kinerja eksekutif, karena KPK merupakan badan yang berdiri sendiri.
Tetapi, ada fakta yang menarik yang dikemukakan Zainal Arifin. Dia mengakui semakin banyak perkara korupsi terungkap, tapi sangat sedikit yang tuntas. Ia mencontohkan kasus aliran dana BI yang sudah diusut pembagian uang Rp 31,5 miliar ke legislatif, tetapi menyangkut bagi-bagi "angpao" Rp 68,5 miliar ke aparat hukum sama sekali tidak disentuh.
Saldi Isra juga mengamini hal itu. "Orang-orang DPR yang menerima uang itu hanya beberapa orang saja diseret ke pengadilan. Lalu ke mana yang lain yang jumlahnya mencapai 52 orang?," kata Saldi.
Lukman juga mengingatkan KPK agar menyadari bahwa masih banyak kasus-kasus korupsi berskala besar yang hingga kini belum tersentuh, termasuk kasus BLBI yang jelas-jelas telah terjadi persekongkolan di kejaksaan.
Sedangkan Febri menyoroti penanganan KPK atas kasus suap terhadap jaksa Urip Tri Gunawan oleh makelar kasus Artalyta Suryani yang seakan terhenti.
Padahal, dalam fakta persidangan sering muncul nama Kemas Yahya Rachman (mantan Jampidsus), Wisnu Subroto (Jamintel), M Salim (mantan Direktur Penyidikan), dan mantan Jamdatun Untung Udji Santoso.
"Artinya, selama ini KPK hanya menyeret para pelaku lapangan. Sementara aktor intelektualnya hingga kini belum disentuh," ucapnya.
Ketua Badan Pengurus Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Firmansyah Arifin menilai, komitmen dan arah pemberantasan korupsi kita masih belum jelas. Meskipun dari sisi aksi, khususnya penindakan para pelaku tindak pidana korupsi, terlihat gencar dilakukan baik oleh KPK maupun Kejaksaan Agung. Namun, hal itu masih dilakukan secara sporadis dan cenderung memilih kasus-kasus yang mudah pembuktiannya. (Nefan K/Sugandi/B Sugiharto/Jimmy Radjah)
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=216469
"Jangankan pejabat biasa, yang dekat dengan lingkungan Istana pun, kini bukan lagi menjadi halangan bagi KPK untuk mengusutnya jika terbukti melakukan korupsi," ujar politisi dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu.
Peneliti hukum pada Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesian Corruption Watch (ICW), Febri Diansyah, juga sepakat jika dikatakan kinerja KPK selama tahun ini cukup menonjol, terutama jika dilihat dari jumlah penanganan kasus korupsi.
Keberanian KPK menetapkan Aulia Pohan sebagai tersangka kasus aliran dana BI diapresiasi Febri sebagai gebrakan yang luar biasa. Tindakan KPK itu menunjukkan bahwa lembaga tersebut menunjukkan jatidirinya sebagai lembaga independen yang sulit diintervensi kekuasaan.
Namun, dalam pandangan Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Muchtar, jika metode yang diambil bukanlah compare antara Kejaksaan Agung dengan KPK, namun antara kejaksaan dengan harapan masyarakat, atau KPK dengan harapan masyakarkat, kinerja kedua institusi itu masih jauh dari harapan. Ibaratnya seperti lari di tempat, seakan lari-lari berkeringat-basah, capai, tapi tidak bergerak. Korupsi tetap menggejala, menggeliat, dan jumlahnya tetap tinggi.
"KPK lebih unggul dari kejaksaan karena model penegakannya lebih kuat. Paling tidak kalau kita bicara tentang rata-rata kemampuan KPK menentukan penuntutan perkara korupsi. KPK rata-rata mampu menuntut kasus korupsi dengan tuntutan 4-5 tahun ke atas, sedangkan kejaksaan hanya rata-rata menuntut 1-2 tahun. Sangat rendah," katanya menerangkan.
Terlepas dari semua keberhasilan itu, staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Andalas, Saldi Isra, menggarisbawahi bahwa keberhasilan KPK tidak bisa diakui sebagai kinerja eksekutif, karena KPK merupakan badan yang berdiri sendiri.
Tetapi, ada fakta yang menarik yang dikemukakan Zainal Arifin. Dia mengakui semakin banyak perkara korupsi terungkap, tapi sangat sedikit yang tuntas. Ia mencontohkan kasus aliran dana BI yang sudah diusut pembagian uang Rp 31,5 miliar ke legislatif, tetapi menyangkut bagi-bagi "angpao" Rp 68,5 miliar ke aparat hukum sama sekali tidak disentuh.
Saldi Isra juga mengamini hal itu. "Orang-orang DPR yang menerima uang itu hanya beberapa orang saja diseret ke pengadilan. Lalu ke mana yang lain yang jumlahnya mencapai 52 orang?," kata Saldi.
Lukman juga mengingatkan KPK agar menyadari bahwa masih banyak kasus-kasus korupsi berskala besar yang hingga kini belum tersentuh, termasuk kasus BLBI yang jelas-jelas telah terjadi persekongkolan di kejaksaan.
Sedangkan Febri menyoroti penanganan KPK atas kasus suap terhadap jaksa Urip Tri Gunawan oleh makelar kasus Artalyta Suryani yang seakan terhenti.
Padahal, dalam fakta persidangan sering muncul nama Kemas Yahya Rachman (mantan Jampidsus), Wisnu Subroto (Jamintel), M Salim (mantan Direktur Penyidikan), dan mantan Jamdatun Untung Udji Santoso.
"Artinya, selama ini KPK hanya menyeret para pelaku lapangan. Sementara aktor intelektualnya hingga kini belum disentuh," ucapnya.
Ketua Badan Pengurus Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Firmansyah Arifin menilai, komitmen dan arah pemberantasan korupsi kita masih belum jelas. Meskipun dari sisi aksi, khususnya penindakan para pelaku tindak pidana korupsi, terlihat gencar dilakukan baik oleh KPK maupun Kejaksaan Agung. Namun, hal itu masih dilakukan secara sporadis dan cenderung memilih kasus-kasus yang mudah pembuktiannya. (Nefan K/Sugandi/B Sugiharto/Jimmy Radjah)
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=216469
Tidak ada komentar:
Posting Komentar